Sunday, 15 February 2015

Menikmati atawa Memiliki

Bismillah

Tetangga depan, Pak Taufik namanya, piara burung. Terpantau (diksinya norak tapi ya sudahlah) ada 3 kandang burung. Walau saya tak tahu menahu soal burung (kecuali burung yang sudah menemani sejak lahir), dari bau-baunya burung-burungnya adalah jenis mahal dan bagus. Istri Pak Taufik, Bu Taufik (ya iyalah, kalau Bu Bambang itu istrinya Pak Bambang), pernah bercerita ke Ibu saya kalau burung suaminya pernah beberapa kali jadi juara di kompetisi burung. Burungnya Pak Taufik katanya ada juga yang pernah mati, karena lupa dimasukin ke dalem rumah terus dirubung semut.

Ci cit cicit cuit cit cicit cuit burung tetangga bernyanyi, kayak lagu Joshua Suherman.

Saya jadi berpikir, banyak sekali hal-hal yang kita bisa nikmati, tanpa harus membeli, repot-repot merawat. Tanpa ada rasa posesivitas. Tanpa ada komitmen sebagai pemilik dan objek yang dimiliki. Burung contohnya, masih bisa saya nikmati suaranya, tanpa harus memandikan tiap pagi, kasih makan, dan membersihkan kotorannya. Mungkin kenikmatannya berbeda, tapi (Singlish) you get the idea lah..

Ada banyak hal lain yang bisa kita nikmati. TV, nggak perlu beli. Saya tidak punya TV sejak 2004. Hidup bahagia-bahagia saja. Kalau pengen nonton TV ya numpang nonton di kantor atau di kantor kelurahan (masih jaman??). Kalau mau nonton bola ya ke pos satpam atau lihat highlight-nya di YouTube. Mobil? Pinjem aja punya keluarga kalau memang butuh. Kalau nggak ya naek taksi atau bajaj.

Yang paling konyol menurut saya adalah kembang api tahun baru. Fenomena "semua orang membeli kembang api di malam tahun baru dan ramai-ramai membakarnya" adalah bukti bahwa tukang kembang api tahun baru adalah salesman handal. Coba bayangkan saja, Anda tidak perlu beli kembang api untuk menikmati indahnya langit tahun baru. Anda cukup mendongak saja. Seberapa sulit sih menengadahkan kepala, daripada punya resiko tangan terbakar kembang api tahun baru?

Mikir!

Original post : Menikmati atawa Memiliki

No comments:

Post a Comment