Monday, 10 November 2014

Mencoba 'Semi-Remote-Working'

Bismillah

Karena sakit, saya memutuskan untuk tidak berangkat ke pabrik selama beberapa hari terakhir. Mencicil pekerjaan yang menumpuk, saya bekerja dari rumah, tapi tidak full. Sebut saja ini 'semi-remote-working', working remotely, tapi separuh sahaja. Separuh bekerja, separuhnya lagi, saya mesti istirahatkan pikiran, fisik, mental, dan pergi ke Rumah Sakit.

Semula saya pikir remote working itu mudah. Di pabrik yang lama, selama setahun, dalam tim kami yang hanya beranggotakan maksimal 7 orang, saya bisa beradaptasi. Bekerja dengan perbedaan waktu 6-7 jam, perbedaan bahasa dan budaya, belum lagi beda usia dan latar belakang. Bahkan, saya baru benar-benar bertemu muka dengan pemilik perusahaan kira-kira setelah 5 bulan memburuh. Komunikasi semuanya via Skype, email, dan project management tools. Cukup mengesankan.

Karena semakin terpengaruh 37signals dan beberapa orang yang saya kenal bekerja dari rumah (entah karena menjadi freelance programmer dengan client dari luar negeri, atau memang bekerja untuk perusahaan bule), saya pikir ini akan menjadi tren di masa depan. Mari kita lihat positif dan negatifnya, sejauh yang saya alami saja.

Waktu tempuh
Siapapun tahu Jakarta macet. Setiap perjalanan adalah perjuangan melawan stress, polusi, dan emak-emak tanah abang. Dengan bekerja dari rumah, maka waktu tempuh yang 1-2 jam bisa dikonversi menjadi waktu yang lebih produktif. Remote +1.

Go Green
Dengan remote working, saya tidak perlu biaya pertamax (sorry ya, bensin kan buat orang gak mampu), tidak perlu bayar KRL, tidak perlu bayar angkot. Tidak ada transportasi berarti mengurangi emisi. Remote +1.

Kasual = murah
Dengan tidak perlu datang ke kantor, berarti tidak perlu pakai dasi, celana panjang dan sepatu mengkilat. Cukup sarung dan kaos oblong saja. Bangun tidur bisa langsung kerja. Hemat pakaian, hemat air. Ini juga menghilangkan formalitas dan kesan mewah ala kantor, yang menurunkan tingkat kreativitas. Remote +1.

Mood
Ada orang yang baru mood kalau sudah lewat jam 9 malam. Ada juga yang seneng kerja habis subuh, atau dini hari. Lebih tenang mungkin, sambil bakar menyan. Dengan 'dipaksa' bekerja sejak jam 8 pagi hingga 5 sore (dipotong jam istirahat), mungkin hasilnya tidak semaksimal jika jam kerja disesuaikan per karakter orang. Remote +1.

Selain sisi positif, saya juga merasa ada beberapa sisi negatif dari remote working.

Komunikasi verbal
Menggunakan messenger berarti jadi jarang ngobrol dan bertatap muka. Bisa sih video call, tapi ngabisin bandwith. Jadi mayoritas komunikasi tetap via chat. Office +1.

Distractions
Nggak di rumah, nggak di pabrik, gangguan selalu ada. Tapi distraksi di rumah untuk beberapa kasus, jauh lebih banyak. Entah itu tetangga yang lagi renovasi rumah, pedagang sayur, sales gorden, penjual remote, sampai anak-anak komplek sebelah yang alay. Kecuali rumah kita di gua dan halaman luas banget kayak Bruce Wayne. Office +1.

Tidak populis
Kebiasaan bekerja dari rumah buat di Indonesia memang belum populer. Tetangga dan keluarga pasti nggak ngerti kalau dijelasin secara singkat. Ini juga yang membuat orang tua, saudara, om tante masih merasa kalau kita di rumah = libur dan bisa disuruh-suruh. Office +1.

Workspace
Nah, ini sih sifatnya subjektif. Kondisi coding itu paling pewe kalau meja, kursi, monitor, PC kita semuanya maknyus. Kalau sekadar pake kursi bakso dan meja warung pasti bikin pegel. Tentu perlu duit lebih untuk mengkondisikan hal ini. Jika di kantor, sudah pasti enak, kursi aja pake yang harga 6 juta perak. Office +1.

Referensi :
http://37signals.com/remote/
http://search.dilbert.com/comic/Working From Home
http://endy.muhardin.com/life/bekerja-di-rumah/
http://theoatmeal.com/comics/working_home
http://daniswara.net/work-hour/




















Original post : Mencoba 'Semi-Remote-Working'

No comments:

Post a Comment