Akhir pekan yang lalu ada Andre, tetangga dari Pontianak yang sekaligus teman sedari kecil saya, main ke rumah. Ia ada pekerjaan di bandara Soekarno Hatta, selama lebih kurang 4 minggu. Kehabisan ide dan suntuk, akhirnya kami memutuskan untuk sekadar cuci mata di IKEA Alam Sutera, yang baru saja buka tengah bulan ini.
IKEA memang bagus, salah satu contoh kesuksesan yang, menurut Simon Sinek, dimulai dari "Start with Why". Di mana-mana tertempel pertanyaan-pertanyaan seperti, "Why do our designers create the price tag first? At IKEA, our designers' main concern is to make good quality furniture at a price that is affordable. - That's why"
Di showroom yang luasnya bikin kaki pegal, Andre sempat nyeletuk begini.
Memang betul Mas, kalau terus-terusan di Pontianak kita tidak bisa majuSeketika saya teringat KTP yang, kalau pegawai kecamatan Tangerang beneran rajin, akan jadi 7 hari lagi. Tak lama lagi saya akan resmi menjadi penduduk Banten. Bayar pajak, iuran, pungli, apapun namanya, ke Banten. Hampir tak ada ikatan emosional lagi dengan kampung kelahiran. Hampir tak ada. Saya, lambat laun, telah hijrah.
Ini sesuai dengan filosofi (cie filosofi cie) muhajirin.net, bahwa sudah memang fitrahnya kita ini hijrah. Hijrah adalah keniscayaan, mau tak mau, suka atau benci. Pertanyaan yang harus kita tanyakan selalu pada wajah yang kita amati setiap hari di cermin adalah, apakah kondisi kita saat ini adalah kondisi paling ideal untuk mengembangkan diri? Ataukah ada tempat lain yang bisa memberi nilai lebih?
Apakah kita tetap tinggal, ataukah kita harus hijrah? Sanggupkah kita membanting setir kencang-kencang, mengubah arah kapal, atau melebarkan sayap demi berada di lapisan langit yang lebih tinggi? Bukankah selalu saja ada tempat lain yang lebih baik?
Original post : (Hampir) Jadi Orang Banten
No comments:
Post a Comment