Wednesday 21 November 2012

Curhat : Di Bully Pengamen

Pernah di bully pengamen? Aku udah dong. Kejadiannya kemaren ketika makan siang di Yossi, warung seafood di belakang kantor. Waktu itu aku pesan Fuyunghay (saos dipisah). Mas Seno pesan mie goreng + telor. Mba Jay pesan Ifumi. Adi pesan mie siram (kuahnya dipisah) + telor ceplok. Sebenarnya pesanan makanan ga penting disini, tapi aku pengen aja nulisin.


Aku sedang asik – asik nyelupin fuyunghay ke mangkok saos, eh dari warung sebelah terdengar suara parau berisik. Pengamen – muka baru, soalnya aku baru pertama kali lihat muka dia. Biasanya yang ngamen di belakang sih modelnya preman setengah mabok, ibu2 yang gonjrengan gitarnya sama untuk semua lagu, bapak2 dengan anak dua yang bawa tape besar, trus preman lagi yang ga ngamen sih tapi minta duit buat rokok.


Si bapak pengamen muka baru ini sudah selesai di Ojolali. Beranjaklah dia ke warung tempat aku makan, yaitu Yossi. Disini dia nyanyi dong, dengan suaranya yang ga jelas. Saking ga jelasnya, aku ga tau dia nyanyiin lagu apa.


Aku, sebagai orang baik dan tidak mau bapak itu buang tenaga tanpa hasil dalam bentuk uang receh, dengan segala kerendahan hati melambaikan tangan. “Pass – ga ada receh,” kurang lebih itu artinya. Mungkin karena si bapak ini orang baru, lambaian tangan ku ditanggapi dengan suaranya yang meninggi. “Blah blah blah… jilbab… blah blah blah… di dalam Islam tidak ada itu melambaikan tangan. Blah blah (lagi) … jilbab… blah blah blah.”


Duh, jangan harap deh aku masih ingat apa kata – kata sadis bapak itu. Sampai saat ini pun hati ini masih sakiiiiiiiiit banget kalo ingat kejadian itu (tapi boong). Aku engga sakit hati kok. Soalnya bapak itu udah aku cap tua, terlalu tua untuk bekerja. Dan mungkin dia ga se fleksibel aku untuk menghadapi orang – orang dengan tindakan tak menyenangkan, makanya ketika bisulnya kena colek sedikit saja suaranya langsung meninggi.


Untung aku orangnya penyabar. Walau dikantor aku dikenal sebagai cewek absurd yang bisa tiba – tiba ngambek dan marah tanpa sebab, tapi aku emang sabar. Dan orang sabar pantatnya lebar.


Ketika kejadian, mas Sen yang duduk disebelahku somehow menunjukkan body language supaya aku ga usah naik pitam (menjangkau  kuah mie siram adi dan melemparkan isinya ke muka bapak pengamen itu). Padahal sebenernya aku pengen mewek saking malunya diteriakin didepan umum, didepan teman – temanku.


Si bapak pengamen itu sukses deh menghancurkan momen makan siangku. Untungnya aku masih punya tenaga untuk tetap menghabiskan fuyunghay yang masih ada di piring.


Nilai moral yang bisa kupetik kali ini adalah :



  1. Tua belum tentu bijaksana dan benar.

  2. Melambaikan tangan ternyata bukan bahasa tubuh yang dimengerti semua pengamen. Lain kali aku pasang muka jutek dan menganggap mereka tak ada saja.

  3. Jangan terlalu sering makan di Yossi dan Ojolali, nanti cepat bosan. (Ini tidak ada korelasinya dengan cerita diatas.)

  4. Di warung mie ayam Beni, ada teman senasib. Jadi setelah beranjak dari Yossi, bapak pengamen itu pindah ke mie ayam Beni. Mungkin dia dapat lambaian tangan serupa, makanya aku mendengar teriakan yang kurang lebih sama dengan yang di quote diatas. Bener kan sekarang, si bapak itu newbie banget di dunia ngamen.

  5. Sebagian orang mungkin memandang aku berhati gelap. Hal kecil macam ini saja dipermasalahkan. Dari sudut pandangku, ini adalah kesempatan bersyukur karena aku tak pernah (dan semoga saja ga akan pernah) di posisi bapak itu dimana harus ngamen untuk hidup.Jika aku berdiri di posisi bapak pengamen itu, butuh keberanian dan acuh yang luar biasa untuk bisa ngamen didepan orang – orang yang usianya sepertiga dia. Tak pernah kubayangkan aku akan sanggup seperti itu. Bapak itu mungkin juga seperti itu. Mana ada orang yang cita – citanya ketika tua menjadi pengamen. Jadinya malah sekarang aku kasihan ke bapak itu dan menyesal karena ga berusaha ngubek – ngubek dompet untuk uang receh. Labil.



Filed under: Catatan

Original post : Curhat : Di Bully Pengamen

No comments:

Post a Comment