Thursday 20 September 2012

Dinas

Saya bukannya tidak setuju dengan anjuran NU untuk menolak membayar pajak karena pajak banyak dikorupsi, tapi dengan tidak membayar pajak juga tidak akan menjamin koruptor akan hilang kan. Memang betul bahwa sebagai umat yang diwajibkan adalah membayar zakat (bukan pajak), akan tetapi sebagai umat yang patuh juga mesti mentaati pemimpin dan negara untuk membayar pajak. Bagaimana mau tidak taat pajak? Sebelum upah kuli sampai ke rekening sudah langsung dipotong pajak kok. Beli apa-apa sudah plus pajak. Kalau tidak bayar pajak bangunan atau kendaraan ancamannya denda – yang berarti nambah masalah; tidak ada pilihan. Lagipula kalau tidak bayar pajak nanti bagaimana nasib pembangunan jalan saat akan Lebaran dan gaji PNS? Terus tentang subsidi listrik dan BBM siapa yang akan menalangi? Kalau tidak ada pajak, bisa repot Endonesa. Bisa bangkrut. Pailit.


Seharusnya NU bisa membuat solusi yang lebih elegan, misal bagi yang ketahuan melakukan korupsi lakukan hukum potong tangan atau potong kuping ala Haji Muhidin di Tukang Bubur Naik Haji. Ya setidaknya bikin hukuman yang membuat jera dan membekas, kalau korupsi tiga milyar cuma penjara tiga tahun potong masa tahanan potong remisi potong lain-lain ya sama saja. Mending koruptor itu diarak bugil keliling sesuai dengan besaran uang yang dikorupsinya. Jika mengkorupsi infaq masjid silakan diarak bugil keliling kampung, jika merugikan negara silakan diarak bugil keliling Endonesa. Atau dikucilkan saja? Bisa juga dikebiri. Atau jika mau yang lebih elegan lagi, ikut idenya Masril Koto apabila ada debitur yang gagal membayar hutangnya.


“Umumkan namanya di masjid pas Sholat Jumat, pake mikropon, sekalian keluarga dan orang-orang yang menjamin dia untuk mengambil pinjaman.”


Elegan bukan? Pasti malu tujuh turunan.


Tapi di sisi lain saya juga bingung bagaimana menangani korupsi di Endonesa ini. Jangankan saya, KPK saja sampai sekarang masih bingung mengurus masalah korupsi. Saya mau cerita apa yang seringkali terjadi dalam lingkup dan skala yang lebih kecil : di pabrik tempat saya menjadi kuli.


Pabrik tempat saya bekerja merupakan pabrik yang berada di bawah pengawasan kantor. Jadi segala aturan dan keputusan yang diambil pabrik saya harus diketahui dan disetujui kantor. Hidup matinya pabrik ada di tangan kantor. Pabrik mau A tapi kalau kantor maunya B ya jadilah B. Kun fayakun. Meskipun pabrik merupakan perusahaan yang saham dan pendapatannya mayoritas dikuasai oleh badan usaha milik kantor namun kantor sendiri semacam antipati kepada pabrik tempat saya bekerja ini. Kantor lebih sering mempercayakan kekayaan alamnya kepada pabrik asing yang dinilai lebih mumpuni. Kalau kantor berpikir seperti itu terus bagaimana Endonesa bisa maju? Mestinya Endonesa bisa bertindak seperti Venezuela atau Bolivia yang menasionalisasi perusahaan asing untuk kepentingan negara. Kalau tidak begitu, dari zaman Maladi sampai ke cucunya Lionel Messi Endonesa cuma jadi negara kuli. Jadi pabrik saya ini adalah anak tiri, bisanya cuma meratapi.


Kembali lagi ke kasus pengawasan kantor.


Seringkali pabrik saya mendapat kunjungan dari Pak Pegawai kantor dengan berbagai macam acara dan agenda kedinasan seperti pengawasan operasi, pengecekan lokasi sampai kegiatan dokumentasi yang sebenarnya kurang begitu penting dan bisa dilakukan koordinasi lewat video conference atau semacamnya yang sering dilakukan pabrik tempat saya bekerja dengan pabrik pusat. Namun sebagai pabrik yang berada di bawah naungan kantor tentunya pabrik kami sangat senang mendapat kunjungan dari Pak Pegawai karena merasa diperhatikan oleh kantor. Tentu saja dengan harapan apa yang menjadi program pabrik bisa disetujui kantor. Tapi kadang perhatian yang diberikan berujung pengeluaran tambahan bagi pabrik dan pendapatan tambahan bagi Pak Pegawai.


Sekali waktu saya pernah makan capcay bersama Dadan di kota, satu jam perjalanan menembus hutan dari pabrik. Saat sedang menikmati makanan surga nan langka di sekitar pabrik, tiba-tiba telepon Dadan berbunyi. Ada panggilan dari Pak Pegawai yang berkunjung dalam rangka dinas. Ah, mengganggu acara makan malam saja.


“Iya Pak, sudah sampai di pabrik Pak? Bagaimana, sudah sampai di mess kan?” tanya Dadan ramah via telepon. Lebih ramah daripada menerima telepon gadis yang sedang diincarnya.


Dadan terdiam sejenak, mendengarkan dengan serius kemudian mengernyitkan dahi tanda ada yang tidak sesuai dengan apa yang direncanakannya.


“Oh, maaf Pak, akan segera saya hubungi pengurus mess,” sambung Dadan mengakhiri panggilan telepon.


Sejurus kemudian Dadan menghubungi pengurus mess untuk segera menyiapkan kamar dan segala fasilitas untuk Pak Pegawai. Dadan nampak panik, pastinya ada yang tidak beres.


“Kenapa panik?” tanya saya menghabiskan capcay goreng yang top markotop.

“Biasa Pak Pegawai datang, harus dilayani dengan baik. Kalau tidak bisa repot belakangnya. Ini Pak Pegawai belum masuk mess,” jelas Dadan.

“Kenapa repot? Setau saya kalau Pak Pegawai dinas ke luar kantor semestinya mendapat jatah transportasi, akomodasi dan uang saku yang cukup. Kenapa kita yang harus mengurusi?” saya bertanya lagi kali ini menyeruput teh manis hangat.

“Ya memang seperti itu seharusnya, tapi kan kita berada di tengah hutan. Jadi mau tidak mau ya kita harus menyediakan kebutuhan mereka. Daripada dimakan orang utan,” jelas Dadan.


Memang pabrik saya berlokasi di antah berantah. Jauh dari hiruk pikuk manusia namun dekat dari keramaian jin dan sebangsanya. Tidak ada hotel, yang ada penginapan ala kadarnya dengan listrik dan air yang nyala-mati. Kebetulan bagian Dadan yang sering berhubungan dengan Pak Pegawai sementara saya lebih sering berurusan dengan mesin dan oli. Jadi saya kurang paham tentang perjamuan Pak Pegawai.


“Pak Pegawai itu kalau datang meskipun tidak minta macam-macam tapi harus tetap dilayani dengan baik, harus disediakan transportasi dan akomodasi gratis,” kata Dadan.

“Bukannya mereka dapat jatah dari kantor?” saya bertanya.

“Iya, tapi itulah Pak Pegawai. Sudah minta disediakan tiket dan akomodasi gratis dari pabrik tetapi tetap minta jatah dari kantor juga. Padahal di surat dinas Pak Pegawai tertulis dengan jelas kalau segala bentuk pengeluaran yang ditimbulkan akibat dinas ini merupakan tanggungan kantor tapi mereka tetap minta jatah dari kita. Baik terang-terangan ataupun diam-diam. Lumayan lho jatahnya apalagi ke daerah dengan UMR yang relatif besar. Bisa buat kredit motor,” jelas Dadan.

“Pak Pegawai dapat dobel dong? Sudah dapat jatah dari pabrik masih minta klaim ke kantor. Jadi pajak yang selama ini dipotong dari upah kuli saya dipakai buat bayar Pegawai semacam itu?” saya lanjut bertanya.

“Iya, ini dilema. Di satu sisi pabrik ingin semua berjalan profesional dan lancar namun di sisi lain pabrik harus menghadapi realita yang ada,” kata Dadan.


Dadan menghela nafas panjang.


“Pernah sekali waktu pabrik tidak memberikan fasilitas transportasi dan akomodasi kepada Pak Pegawai, tapi apa jadinya? Pak Pegawai marah besar, mencak-mencak di pabrik. Segala aktivitas kita dihambat oleh Pak Pegawai karena Pak Pegawai mempersulit kegiatan pabrik. Setiap kegiatan pabrik ini harus diketahui dan disetujui kantor sementara Pak Pegawai adalah pekerja di kantor. Sekali pabrik bikin masalah sama Pak Pegawai bisa-bisa kantor memberikan cap merah pada pabrik. Bisa-bisa pabrik tidak beroperasi,” jelas Dadan panjang lebar.


Sekali lagi Dadan menghela nafas panjang.


“Kalau kerjanya Pak Pegawai beres tidak masalah pabrik memberikan apalah namanya, bonus, insentif atau apapun itu. Namun kenyataannya banyak Pak Pegawai yang datang ke sini tidak beres kerjanya. Dalam surat dinas tertulis tiga hari namun kenyataannya cuma satu hari di sini, malahan ada yang lebih parah. Dinas empat hari, eh cuma mampir dua jam di sini. Itu sudah menjadi hal yang wajar. Ada juga Pak Pegawai yang meminta ‘jatah’ timnya agar diserahkan kepada dia untuk nantinya dibagi-bagi,” terang Dadan.


Kali ini saya yang menghela nafas panjang. Saya teringat percakapan dengan seorang Pegawai yang bekerja di kantor lain mengenai aturan dinas di tempatnya bekerja.


“Kalau di kantor, begitu surat dinas turun Pegawai sudah menerima uang sejumlah hari perjalanan dan itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Jadi mau berangkat atau tidak berangkat, mau dinas lima hari cuma datang satu hari atau mau apapun; uang sudah di tangan dan itu tidak perlu dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan bukti-bukti kuitansi pembayaran seperti tiket ataupun tagihan hotel,” kata si Pegawai.


***


“Tapi saya masih yakin, tidak semua Pegawai bertindak seperti itu. Mungkin pabrik kita belum pernah dikunjungi Pegawai yang benar-benar bersih dan jauh dari berbagai kepentingan. Semoga saja hanya sistem dan orang-orang tertentunya saja yang salah,” kata Dadan menerawang.


Saya cuma bisa terdiam, mungkin di satu sisi saya mesti menuruti anjuran NU untuk memboikot bayar pajak.



Original post : Dinas

No comments:

Post a Comment