Gerobag musiman yang menjamur selama Ramadhan disamping kolak tentu saja sop buah. Siapa tidak tergoda dengan buah – buahan segar + es + susu. Kombinasi komplit untuk pelepas dahaga. Dan jelas pula mematuhi aturan baku tak tertulis untuk berbukalah dengan yang manis.
Delapan hari berpuasa, dua hari diantaranya aku berbuka dengan sop buah. Sop buah pertama ku beli di pertigaan SMA 3. Rasanya segar mengenyangkan. Segar dari cita rasa buah, kenyang akibat susu kental manis. Agak diluar ekspektasiku. Mauku isinya potongan buah dan nata akan tetapi kenyataannya yang ada potongan buah dan agar. Salahku juga sih, kenapa berharap banyak pada sop buah yang dijual 6rb-an.
Sop buah kedua ku beli di perempatan setelah tembok ratapan. Harganya lebih mahal 2rb dan isinya lebih banyak dan beragam. Ada melon, apel, buah naga, kelengkeng, nangka, dan lagi – lagi agar. Rasanya juga sama – sama segar dan mengenyangkan.
Selain kesamaan rasa, buka puasa dengan sop buah memberi efek yang sama pada saat taraweh nantinya. Yaitu ngantuk tiada tara.
Dua dari delapan.
Satu dari empat.
25% taraweh kujalani dalam keadaan berusaha sebisa mungkin bangun.
25% kejadian itu selalu mengandung content sop buah didalamnya.
Dengan logic ini, demi kemaslahatan ibadah tarawihku maka kuputuskan per tanggal 3 Agustus 2012 bahwa tiada lagi sop buah diantara kita. Keputusan ini tidak dapat di ganggu gugat kecuali kombinasi sop buah telah berubah menjadi eskrim dan sedikiiiiiit potongan buah.
Demikian keputusan ini dibuat agar dapat dilaksanakan sebaik – baiknya.
PS :
1. Argumen ini tiada kuat sepenuhnya dan memang sulit sekali dipertanggungjawabkan. Butuh penelitian lebih lanjut yang lebih komprehensif.
2. Tembok ratapan adalah istilah untuk jalan kecil yang kulewati ketika berangkat ke kantor. Disebut begitu karena menurut mas Nungki, jalan sempit dan panjang itu paling pas untuk dilewati sambil meratapi nasib hidup di dJakarta.
Filed under: Catatan

Original post : Sop Buah vs the World
No comments:
Post a Comment