Thursday 1 March 2012

Gubuk Bakery

Coba dulu saya tidak bertemu dengan spesies-spesies unik, langka nan menyesatkan macam Joko, Sukiman dan Mardi, pasti saya bisa berkontribusi mengharumkan nama sekolah di dunia persilatan tanah air melalui karya-karya saya yang fenomenal. Ya meskipun tidak sejago Jupri dalam mempraktekkan jurus-jurus, saya yakin bisa meningkatkan harkat dan martabat sekolah.


Eh, memangnya saya sekolah silat? Ceritanya bakalan panjang dan membosankan. Kalau ndak niat mending jangan baca.


Akhir-akhir ini saya sering membaca berita mengenai keberhasilan almamater sekolah saya menjadi yang terbaik di tingkat nasional. Bangga pastinya, kan jadi bisa nyombong sama sekolah sebelah. Ya meskipun penghargaan dan keberhasilan itu datang selepas saya menamatkan pendidikan di sana. Minimal saya pernah berkontribusi membuat grafiti kata motivasi di bangku sekolah pakai tip ex (bandingkan dengan Joko yang membuat tindakan vandalisme di WC putri untuk melampiaskan kisah cinta tak sampai-nya)


Bagaimana saya mau berkarya, tiap berusaha menempuh jalan lurus nan terjal, selalu saja ada gangguan. Mulai dari Paijo dan Mat Kodir yang memaksa main sepakbola saat jam sekolah. Joko dan Ucup yang heboh main PES pas waktunya belajar kelompok. Dibyo dan Kojrat yang rebutan pamer bokep terbarunya. Ataupun Sukiman dan Mardi yang mengajak jalan-jalan meskipun tugas bertebaran.


Saya tak kuasa menolak ajakan dan rayuan penuh muslihat tersebut. Tiada daya dan upaya.


Tapi jelek-jelek gini toh saya dan teman sepermainan ini pernah berbuat kebajikan di muka bumi, setidaknya menurut kami.


Dulu, saya pernah digadang-gadang menjadi calon ketua Gubuk Bakery di sekolah. Dengan melihat riwayat hidup saya yang jauh dari dunia perkumpulan dan per-geng-an, saya kepalang senang bukan main mendapat kepercayaan dan tanggung jawab seperti itu. Meskipun statusnya masih calon dan itu juga baru digadang-gadang, rasanya sudah bagaikan melayang ke awan.


Oh ya, Gubuk Bakery ini merupakan kumpulan tukang-tukang pembuat kue yang handal di sekolah. Kata Joko, wasiat dari pendirinya yakni buat belajar bikin kue bagi semua siswa dan mengharumkan nama sekolah di Endonesa yang pada masa itu tertutup prestasi sekolah sebelah. Ruangan dan fasilitas yang diberikan tergolong mewah pada jamannya. Ruang seluas 8 x 6 meter dengan AC yang dingin dan tentu saja belasan oven mahal. Belum lagi dispenser dan minuman sachet yang selalu ada stoknya. Tidak semuanya juga merupakan fasilitas sekolah, toh Gubuk Bakery juga mengelola keuangan dengan menjalankan pelatihan bikin kue dengan biaya yang terjangkau dan menerima pesanan kue dari luar sekolah. Hasilnya? Lumayan buat jajan kue dan nraktir gadis sekolah sebelah.


Saya mulai digembleng oleh Nyoto, yang mencalonkan saya, mengenai tips dan trik menjadi ketua yang baik dan benar. Diperkenalkan kepada relasi-relasinya. Mendapatkan doktrin dan motivasi setiap hari. Bisa dibilang Nyoto ini jago bin lihai untuk urusan spik-spik, selevel dengan Joko. Bedanya Nyoto bicara bisnis, Joko bicara lamis. Tapi dua-duanya sama-sama kurang mahir kalau disuruh bikin resep atau masak kue. Siapa saja bisa terhanyut akan pembawaan Nyoto saat jumpa pertama. Namun setelah semakin kenal, pesonanya mulai memudar. Nyoto merupakan generasi pertama pengurus Gubuk Bakery, sama dengan Joko..


Anehnya, Yono, generasi kedua yang sekarang memegang tampuk kepemimpinan justru adem ayem saja. Selalu bergelut di balik oven. Memang dia juru masak dan pembuat resep kue yang handal. Yono sedang sibuk mengerjakan kue apa dan pesanan siapa, saya juga tidak tau dan tidak mau tau. Seperti robot. Tapi saya yakin dia sedang mengerjakan sesuatu yang serìus pada oven itu. Barangkali mengerjakan pesanan kue yang deadline-nya sudah dekat. Mukanya tegang, tapi tidak mesum macam Dibyo. Tidak pernah sekalipun saya dan Yono berbicara mengenai kelangsungan Gubuk Bakery. Kok bisa ya Yono yang pendiam jadi ketua, pikir saya.


Nyoto mengingatkan bahwa Gubuk Bakery adalah tempat yang eksklusif. Tidak boleh sembarang orang masuk ke Gubuk Bakery. Pintunya selalu tertutup rapat. Di samping karena ada AC, juga banyak barang yang berharga. Ada oven-oven mahal. Jarang ada siswa non pengurus masuk ke ruangannya. Bisa dibilang hanya nol-koma-enam-delapan prosen saja siswa yang tau apa kegiatan di dalam sana. Kok Gubuk Bakery yang seharusnya terbuka malah jadi tertutup dan sulit diakses, pikir saya lagi.


Saat itu memang Sukiman mengingatkan mengenai tingkah laku Nyoto yang agak aneh. Bagaimana tidak aneh kalau Nyoto jelas-jelas tampak bergaul ramah dengan saya sementara menunjukkan sikap permusuhan terhadap Sukiman dan gengnya yang notabene teman akrab saya. Belum lagi Joko dan Bejo yang merupakan senior saya juga mengingatkan untuk berhati-hati dengan Nyoto.


“Kemarin ada kue yang selesai saya kerjakan, masak gaji saya ndak dibayar. Dipakai beli mendoan buat makan-makan,” kata Bejo yang militan dan tidak terima hasil jerih payahnya disumbangkan sukarela tanpa pemberitahuan.


Saya bingung menghadapi situasi ini. Kue itu apa? Kok ada gaji-gajian padahal belum kerja. Ah, penuh konspirasi. Macam politik saja. Saya tidak suka.


Awalnya saya tidak peduli. Masih saja bergaul dengan Nyoto yang kurang disukai oleh teman-teman sementara pihak sekolah justru menyukai kehadiran Nyoto.


“Pasti ada sesuatu, ada udang di balik batu. Tapi siapa udangnya, siapa batunya. Itu yang harus dicari tau,” pikir saya.


Akhirnya saat yang dinanti-nanti tiba, tampuk pimpinan Gubuk Bakery resmi dialihkan. Yono lengser dengan damai. Mungkin karena melihat kemampuan saya yang di bawah rata-rata dan tidak tambah pintar meskipun diajar jadilah Nyoto menunjuk Mardi, Jupri, Romlah, Ipung dan saya menjadi konsorsium pimpinan Gubuk Bakery. Setelah sekian lama, saya punya jabatan juga. Lumayan buat lampiran di riwayat hidup buat cari kerja.


“Wow, banyak betul duitnya. Dari mana ini ya?” saya kaget melihat pembukuan Gubuk Bakery. Untuk ukuran kegiatan ekstrakurikuler, anggaran Gubuk Bakery cukup besar. Itupun didapat secara swadaya.


Kami mulai menyusun program kerja, tentunya dengan mempertimbangkan saran dan masukan dari Nyoto, Bejo, Joko selaku senior dan Sukiman yang waktu itu jadi ketua geng sebelah. Yono? Hilang tanpa jejak.


Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Program terlaksana sesuai rencana. Memang belum bisa dikatakan bagus, tetapi sudah mulai ada kerangkanya. Dibanding dengan masa-masa Yono jauh perbedaannya. Kalau dulu Gubuk Bakery menjadi tempat yang seram nan eksklusif, kini menjadi tempat nongkrong yang nyaman.


Ruangan ber- AC, belasan oven mahal. Jaman segitu sudah termasuk dalam kategori mewah di sekolah. Dan itu dibebaskan untuk semua siswa. Tidak ada batasan selama masih dalam koridor aturan yang berlaku.


Melanggar prinsip eksklusif yang dianut Nyoto.


Tapi saya juga santai-santai saja, toh Gubuk Bakery ini milik bersama. Siapa saja boleh masuk dan memanfaatkan selama tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi. Gubuk Bakery yang tadinya berkesan angker dan seram kini jadi terbuka untuk semua golongan.


Tapi anggaran yang dikeluarkan tak sebanding dengan pemasukan. Padahal pelatihan jalan seperti sebelumnya, tapi kok tetap saja uang tabungan berkurang. Sepertinya ada pendapatan lain yang didapat Gubuk Bakery selama ini, cuma pembukuannya kurang transparan. Mungkin pesanan kue yang semakin berkurang semenjak Nyoto mulai kurang eksis di Gubuk Bakery. Tapi kami tidak menyangka perolehan dari kue sedemikian besarnya. Dilema. Di satu sisi dengan adanya pesanan kue, pelatihan terabaikan sementara sekarang semenjak pelatihan digiatkan, pesanan kue jadi berkurang.


Memang tidak bisa disangkal kalau keberadaan Nyoto sangat vital di Gubuk Bakery.


Dan entah dari mana, tiba-tiba Nyoto yang seharusnya sudah pensiun mengurus Gubuk Bakery muncul bersama dengan beberapa orang yang dibawanya entah dari mana.


“Loh loh, ada apa ini?” Ipung bertanya. Romlah bingung.

“Ini kan fasilitas umum, boleh dong teman-teman saya memakainya?” balas Nyoto.

“Eh, tapi.. Ya sudah, silakan asal sesuai aturan,” jawab Ipung dan Romlah pasrah.


Saat itu cuma ada Ipung dan Romlah di Gubuk Bakery sementara saya, Jupri, Mardi dan Sukiman tengah main bola.


“Mardi, tadi ada Nyoto ke sini. Menggunakan oven di sini,” kata Romlah.

“Ya sudah tidak apa-apa,” kata Mardi.

“Tapi dia bawa teman dan menggunakan ruang pojok,” kata Ipung.


Ruang pojok merupakan tempat terlarang untuk umum karena di sana terdapat oven paling mahal dan berharga milik Gubuk Bakery. Yang bukan pengurus Gubuk Bakery untuk masuk makruh hukumnya, mereka hanya boleh menggunakan ruang pelatihan.


“Apa yang mereka lakukan di sana?” tanya saya.

“Tidak tau, kami tidak berani menanyakan,” kata Romlah dan Ipung kompak.


Ada yang salah ini. Esoknya kami berlima stand by di Gubuk Bakery. Barangkali Nyoto dan komplotannya datang lagi.


Tidak berapa lama, Nyoto datang beserta teman-temannya dan akan menggunakan fasilitas yang sama.


“Mas Nyoto, kalau mau menggunakan oven bisa pakai oven di ruang pelatihan,” kata Mardi.

“Loh, saya kan senior. Pengurus sini juga. Tidak ada sejarahnya pengurus dipecat kan?” tanya Nyoto.

“Kalau Mas Nyoto silakan masuk, yang lain silakan di ruang pelatihan saja,” jawab Mardi lagi.

“Tidak bisa begitu dong, mereka kan teman saya. Lagipula mereka juga siswa sekolah ini,” Nyoto protes.

“Sekarang aturannya begitu Mas, jadi mohon dipatuhi,” Mardi menjawab santai.

“Kalian saja pernah mengajak Sukiman dan Ucup masuk ke dalam Gubuk Bakery. Kalian tidak konsisten,” Nyoto tidak terima.

“Sukiman kan pengurus Gubuk Bakery sementara Ucup kalau masuk juga tidak pernai sampai masuk dan mengobok-obok ruang pojok. Mas Nyoto sendiri gimana sama teman-temannya?” tanya Mardi.

“Saya ini mau menyelamatkan kalian. Tabungan yang kami sisakan mana? Tinggal recehan kan? Lalu kalian mau apa kalau tidak ada pemasukan ke tabungan?” Nyoto marah.

“Kalau Mas Nyoto sudah menyerahkan kepengurusan Gubuk Bakery pada kami mestinya Mas Nyoto percaya pada kami. Berikan saran dan kritik yang membangun. Bukan dengan bertindak semaunya. Sebagai pengurus kami merasa dilangkahi. Benar memang Mas Nyoto pelopor Gubuk Bakery, itu tidak bisa dipungkiri. Pasti Mas Nyoto tidak ingin Gubuk Bakery kolaps dan bubar. Akan tetapi ini perkumpulan yang membutuhkan regenerasi, bukan negara diktator. Sesekali di atas kemudian di bawah kan wajar. Dinamika, jangan dihalangi. Toh kami juga mengemban amanat yang diberikan dengan penuh tanggung jawab,” Mardi panjang lebar menjelaskan.


Nyoto muntab. Bersama kelompoknya, dia keluar dari Gubuk Bakery. Kami lega cuma terjadi pertengkaran mulut tidak sampai terjadi pertumpahan darah.


Esoknya, Pak Guru tiba-tiba datang ke Gubuk Bakery. Suatu hal yang tidak biasa. Inspeksi mendadak sepertinya. Namanya juga menggunakan fasilitas sekolah, wajar lah ada kunjungan mendadak. Mungkin memastikan agar tak ada fasilitas yang disalahgunakan.


Saya dan Sukiman sedang tiduran. Untungnya Jupri sedang membuat kue sementara Romlah dan Ipung tengah merapikan jadwal pelatihan. Mardi main internet. Tidak begitu kelewatan malas-malasan.


“Sepertinya ruangan ini pas, ” kata Pak Guru melongok Jupri yang sedang merangkai bait kata di ruang pojokan.

“Pas untuk apa ya?” tanya saya.

“Buat tempat Nyoto dan kawan-kawannya berkarya,” jawab Pak Guru.

“Memangnya kenapa Pak? Kita tidak membatasi mereka untuk berkarya di sini selama masih mengikuti aturan yang ada,” saya menjawab.

“Oh, tapi menurut saya ruangan ini terlalu luas juga untuk kalian,” kata Pak Guru.


Saya, Mardi, Jupri, Ipung dan Romlah cuma bisa pasrah. Terserah. Fasilitas sekolah.


Beberapa hari berikutnya nampak beberapa tukang mengganti engsel pintu ruang pojok.


“Ada apa ini Pak?” tanya Romlah.

“Ini mbak, engsel pintu mau diganti. Disuruh Pak Guru. Katanya buat Mas Nyoto,” jawab Pak Tukang.


Kami segera bereaksi. Memindahkan barang-barang dari ruang pojok, mulai dari oven yang paling mahal dan berharga, wajan, panci, kompor, talenan, panggangan dan semuanya tak terkecuali. Tidak ada yang ditinggalkan selain debu dan sidik jari. Setiap akan menutup Gubuk Bakery semua sekat di dalamnya yang masih milik Gubuk Bakery dikunci rapat. Ruang pojokan tidak kami pedulikan.


Hari-hari berikutnya ada dua pengurus dalam satu ruangan. Aneh, tapi mau bagaimana lagi. Ini keputusan sekolah melalui Pak Guru.


“Bagaimana kalau kita mencoba diskusi dengan Pak Guru. Ini sudah tidak sehat. Kita tidak tau apa yang dilakukan Mas Nyoto dan teman-temannya di ruang pojok itu,” kata saya.

“Bisa bisa. Biar kita minta kejelasan sekalian. Jangan sampai terjadi hal-hal yang diinginkan. Misalnya dia bikin kue beracun,” balas Sukiman ngasal.


Selanjutnya kami memutuskan untuk menemui Pak Guru di rumahnya. Ya biar tidak terganggu dan terprovokasi dengan kehadiran Nyoto yang nampaknya punya pengaruh besar di mata Pak Guru. Kalau dipikir, macam mahasiswa yang lagi demo mengepung gedung DPR; grudak-gruduk.


“Sebenarnya visi dan misi Gubuk Bakery itu apa?” tanya Pak Guru memulai pembicaraan.

“Ya tentu saja mengakomodir keinginan siswa di sini untuk belajar, tanpa perlu mengetahui asal usulnya selama dia ada di sekolah kita,” saya menjawabnya.

“Lalu apa salah jika Nyoto dan teman-temannya memanfaatkan fasilitas Gubuk Bakery,” tanya Pak Guru lagi.

“Tidak salah Pak, cuma harus ada aturan yang harus ditaati dan dilaksanakan. Kami sebagai pengurus yang diberi hak dan tanggung jawab untuk mengelola Gubuk Bakery juga tidak akan membatasi jika semua dilaksanakan sesuai prosedur yang ada,” saya menjelaskan.


Banyak yang dibicarakan mulai dari Gubuk Bakery sampai nilai matematika yang tidak pernah lebih dari lima.


“Kalau begitu nanti kita duduk bersama, antara pengurus Gubuk Bakery dan Nyoto, biar saya yang menengahi,” Pak Guru memberikan solusi.


Sampai sini, kami masih berharap akan ada kejelasan mengenai Gubuk Bakery. Apakah akan tetap diserahkan pada kami berlima untuk pengurusannya atau kembali lagi pada Nyoto.


Bejo, senior saya sekaligus junior Nyoto pernah cerita bahwa Nyoto menggunakan fasilitas Gubuk Bakery sekaligus pengurusnya yang memiliki keahlian di atas rata-rata untuk mengerjakan pesanan kue-nya. Sudah menjadi hal yang lumrah. Tidak pernah ada masalah, malahan pengurusnya senang karena bisa menambah uang jajan. Tapi Bejo sempat sakit hati lantaran gaji yang seharusnya dipakainya untuk gembira ria ternyata dimanfaatkan untuk keperluan pembelian wajan di Gubuk Bakery. Sementara Bejo kecewa, rekan-rekan seangkatannya cuma bisa tutup mata. Selama ada pesanan kue yang dikerjakan semua diam. Yono, sang ketua, tak ubahnya seperti boneka bagi Nyoto dalam mengontrol Gubuk Bakery.


“Kalian ini apa, skill ndak ada, otak biasa, oven pinjem tetangga, pacar pun tiada,” kata Bejo menghina bercanda.


Pada hari yang telah disepakati, pengurus Gubuk Bakery dan Nyoto berkumpul ditengahi Pak Guru. Banyak yang dibicarakan, tentang sejarah Gubuk Bakery dan ceritanya sampai bisa seperti sekarang. Buku besarnya yang selalu berada pada nilai plus. Kemudian berlanjut pada kelalaian kami dalam mengurus Gubuk Bakery yang mengakibaukan neraca Gubuk Bakery menjadi merugi dan berbagai macam cerita yang menunjukkan kegagalan kami dalam mengurus Gubuk Bakery. Sementara saya, Mardi, Jupri, Romlah dan Ipung tentu saja membela diri dengan alasan macam-macam. Jelas-jelas konsep kami berbeda dengan Nyoto. Kami ingin Gubuk Bakery terbuka dan menjadi tempat semua untuk belajar sementara Nyoto ingin mengkomersialkan Gubuk Bakery.


Meskipun berlima, kami pun keteteran mendebat Nyoto. Harusnya ada Joko yang membantu sebagai juru bicara di pihak kami. Tapi apa lacur, Joko kan teman seangkatan Nyoto dan sama-sama generasi pertama Gubuk Bakery. Kurang etis kalau mereka berdua dikonfrontir.


Sampai akhirnya,


“Misal ada orang membawa kue ke depan pintu rumah kalian dan kalian tinggal makan, masak iya masih kalian pertanyakan?” kata Nyoto.

“Tergantung kue-nya diracun atau tidak,” jawab Mardi.


Memang pada akhirnya antara keinginan Nyoto dan Gubuk Bakery memang tidak bisa disatukan. Selalu saja ada yang berseberangan dan tidak mungkin dicari jalan tengah karena keduanya sama-sama memaksakan. Harga diri dan ego dipertaruhkan.


Keputusan akhirnya Gubuk Bakery tetap berhak menempati ruangan yang ada dan kami masih diserahi tanggung jawab untuk mengurusnya sementara Nyoto dan teman-temanya disediakan ruangan baru yang lebih sempit namun dengan fasilitas yang lebih baik untuk membuat kue dan dibagi-bagikan pada timnya. Kemudian karena ada kebutuhan laboratorium sekolah, ruang Gubuk Bakery digusur ke ruangan sempit di ujung belakang kemudian digusur kembali ke ruangan di samping toilet wanita.


Setahun mungkin perdebatan itu baru terselesaikan. Satu periode masa jabatan. Yang kami berikan untuk Gubuk Bakery mungkin tidak ada bekasnya. Semoga saja Gubuk Bakery telah kembali pada khitahnya.


Beberapa waktu lalu saya ke sekolah, Gubuk Bakery masih setia berkumpul di ruang samping kamar mandi dengan ruangan yang lebih sempit, minus oven-oven mahal (karena siswa sekarang bisa beli oven lebih mahal) dan tanpa AC sementara Nyoto sudah tidak terlihat lagi di sekolah tercinta. Bahkan bekas-bekas ruangan mewah yang ditempatinya pun kini telah menjadi laboratorium pula. Saya merasa malu karena tidak memberikan apa-apa pada Gubuk Bakery, bahkan pada akhirnya Gubuk Bakery terpaksa pindah dari ruang mewah dengan fasilitas bintang tiga ke ruang samping kamar mandi dengan fasilitas seadanya. Untunglah Ipung mendidik junior-junior Gubuk Bakery dengan sangat baik. Pun Romlah tetap menjaga hubungan baik dengan senior Gubuk Bakery. Joko, Mardi dan Sukiman masih akrab bergaul dengan junior-junior. Sementara saya kabur jauh ke pedalaman tanpa kabar berita.


Setidaknya saya masih mengikuti dari jauh perkembangan Gubuk Bakery tanpa melakukan intervensi atau tindakan paksa yang membuat pengurus selanjutnya tidak leluasa dalam berkreasi dan mengembangkan Gubuk Bakery sesuai keinginan tanpa melupakan wasiat tetua.


Saya juga merasa bersalah telah membuyarkan jalan Nyoto untuk membangun perusahaan kue yang mungkin diimpikannya.


——–


Eh, atau barangkali kalau saya, Mardi. Jupri, Romlah, Ipung dan segenap tim tidak berdebat panjang dengan Nyoto dan Pak Guru mungkin tidak pernah ada berita keberhasilan almamater sekolah saya di tingkat nasional karena almamaternya pada kekenyangan makan kue di Gubuk Bakery.



Original post : Gubuk Bakery

1 comment:

  1. “Kalian ini apa, skill ndak ada, otak biasa, oven pinjem tetangga, pacar pun tiada,” kata Bejo menghina bercanda. --> hahaha


    Eh, atau barangkali kalau saya, Mardi. Jupri, Romlah, Ipung dan segenap tim tidak berdebat panjang dengan Nyoto dan Pak Guru mungkin tidak pernah ada berita keberhasilan almamater sekolah saya di tingkat nasional karena almamaternya pada kekenyangan makan kue di Gubuk Bakery. --> Makan kue yang diracun

    ReplyDelete