Sunday 5 February 2012

Kontemplasi V

Selamat malam sahabatku, apakah kamu masih mengenalku? Atau barangkali kamu telah melupakanku, menempatkan namaku pada buku telepon usang masa lalu yang kamu tumpuk bersama butir-butir yang kamu sebut masa kelam – sedang aku menamakannya kenangan.


Iya, aku tidak akan menyalahkanmu atas semua itu. Karena aku tau kita sempat bisa berjalan beriringan namun tidak ada langkah yang bersambutan. Kita pernah saling mengisi sementara di satu saat kita menikam berkelahi. Friksi yang kita jumpai : perbedaan persepsi tentang edelweis merbabu ataupun keras kepala pada senyap Danau Taman Hidup. Iya, kamu memang berhak melampiaskannya padaku. Tapi entah aku masih saja suka untuk bercerita padamu. Tentang dua perempuan yang hadir dalam hidupku, pun tentang seorang lelaki yang habis waktunya.


Kini aku menyempatkan diri untuk berkunjung ke kotamu. Membawa sekantong buah tangan berisi amplang, kepiting soka dan manik yang sengaja kubawa untukmu.


Sejenak singgah, menikmati secangkir teh hangat di sore hari lalu mengangkat gegas langkah kembali menatapi sebongkah Amorphophallus titanium dan setangkai Coelogyne pandurata. Perantau. Pastinya kamu akan semakin menumpukku dalam lembaran lusuh hidup ketika mendapati aku telah beribu kilometer darimu. Tanpa pernah mengucap sepatah katapun.


Kamu seharusnya tahu. Apa kamu masih belum menyadarinya?


Kamu yang akan menggeleng pelan sehingga aku bisa bercerita panjang lebar padamu. Memperbaiki perbedaan cara pandang kita tentang teman dan sahabat. Sebuah kisah yang membuatku lebih suka untuk meninggalkanmu tanpa seucap kalimat perpisahan.


“Apa maksudmu?” tanyamu.


Taukah kamu, tiga tahun yang lalu aku menggenggam selembar karcis kereta api untukmu yang digeret sebuah loko CC201-14R semata. Memang bukan kelas mewah, ini sekadar lembar kertas usang yang mungkin jika kuberikan padamu dan kamu buang nantinya; tak kan ada seorangpun yang akan memungutnya. Sebuah lotere yang aku pun tak tau akan membawa sebuah kisah indah ataupun bualan lalu. Aku simpan baik-baik tiket yang kuperoleh dengan meluangkan waktuku berdesak-desakan serentak puluhan pasang tangan yang ingin menukarkan uang lusuhnya dengan janji manis mereka pada keluarga. Di sini kamu akan mendapati orang-orang penuh kasih dan hasrat yang mengorbankan lapang, tenaga dan materinya untuk membahagiakan tubuh-tubuh mungil yang menunggu di sisi yang berbeda. Jeritan-jeritan hati yang bergelut dalam kesunyian kota mengingini kembali.


Satu tiket, selaksa asa dan makna.


Ini memang hanyalah sebuah akses untuk naik ke sepur kasta sudra yang dengan besi gandanya akan membawa kita jauh ke ujung nusa. Tempat yang kuharap akan memberikan cerita di malam pergantian tahun ketiga kita. Aku ingin kita membagi malam dengan cara berbeda. Bukan dengan menikmati kerlip kembang api di tengah kota bersama puluhan atau ribuan mata. Bukan dengan cara yang sama bertahun sebelumnya. Aku ingin membawamu ke tempat dimana kerlip bintang yang menemani akhir taun kita. Dengan cara yang tidak biasa.


Saat aku menaiki rangkaian kereta yang akan membawaku ke batas kota di +114, masih kuharapkan selintas bayangmu hadir menyapa dalam kabut, pekat embun yang mengaburkan pagi. Mengangan bahwa kamu menatapku acuh kemudian kita bersama menaiki lorong panjang tua dengan bingkai jendela yang berkejaran di tiap sisinya. Membawa cair suasana dalam hangat dan senyum lebar. Aku telah menawarkan padamu, sementara kamu masih saja enggan untuk mengiyakannya. Ketika mencoba keluar dari sebuah rutinitas dan nyamannya tidak semudah membalikkan tangan dan kamu segera menyerah. Pluit bunyi dan kereta mengerang. Aku tersenyum, entah untuk siapa.


Itu hakmu untuk memilih.


Aku sedang menatap ke luar jendela ketika seorang penjaja menawarkan barang dagangannya. Sesaat selepas penghabisan peron rendah +63 karya Frans Johan Louwrens Ghijsels. Manusia-manusia hebat di baliknya, kataku. Nampak segelintir meskipun jamak menjadi potret besar di negeri ini. Rapuh, terpinggirkan namun bertanggung jawab. Tidak menuntut lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Menyatu dalam peluh dan kesah, kardus bekas, kumpulan receh, daun-daun kering yang berjalan pada aspal yang keras. Mereka yang mampu membuat kita menangis dan betapa hidup ternyata begitu rapuh, miskin, lemah dan tidak pernah bersyukur. Bersentuhan dengan mereka menjadi ironi, cara untuk belajar hidup yang pahit dan menusuk nurani. Benturan keras yang akan memberikan goresan pada hati paling dalam. Mendewasakan.


Bahwa pekerjaan itu bukan sekadar menjadi dokter, insinyur ataupun pegawai berseragam coklat yang sering diucapkan bocah lima tahun. Mereka yang berjuang di antara celah sempit yang disebut kesempatan untuk menghidupi. Penjaja asongan, tukang sayur, penyapu jalan, pengemis, pengamen, copet juga pekerjaan. Menjadi antagonis dengan merendahkan harga diri untuk sekadar membeli sesuap nasi untuk beberapa mulut yang menengadah pasrah di sesuatu yang mungkin tak pantas disebut rumah. Kamu tak akan mendapati kisah seperti ini saat berkurung selimut dingin kereta karena di sana kamu hanya akan mendapati beberapa orang bergumam implisit tentang rumah di Pondok Indah, mobil mewah ataupun perjalanan megah.


Kamu begitu bahagia dengan hidup dan orang terdekatmu tanpa pernah menyangka jika di luar sana banyak orang yang begitu membenci hidup karena jalan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Jiwa-jiwa yang begitu nelangsa merutuki nasib karena gagal di setiap waktunya. Atau mereka yang beranggapan hidup hanya sekadar omong kosong belaka. Mereka berkumpul riuh di tengah himpitan bau keringat dan besi berkarat menjadi satu dengan manusia-manusia kuat yang kukatakan sebelumnya.


Deskripsi inspiratif, realis dan kadang ironis yang jarang dijumpai dalam laju kereta gunung yang selalu kamu tumpangi, atau pada burung besi yang membelah luas angkasa.


Dalam desakan dan himpitan kotak besi tua itu, dalam pribadi membumi yang ditemui, dalam perjalanan lambat yang dibuat, dalam peristiwa hari yang dialami semua menuntun untuk menjadi semakin bersyukur. Rel kereta ini nanti akan bermonolog tentang dongeng ribuan manusia dengan gegap langkah kakinya.


“Sepertinya menyenangkan, aku juga ingin mendengar cerita salah satu manusia kuat. Ceritakan padaku,” pintamu.

“Suatu saat kamu akan tau,” aku menolak.


Aku bukan ingin kamu sekadar mendengar, menikmatinya juga. Pilihan dan konsekuensi ketika kamu menolak dan aku menerima. Kini sebaliknya.


Ketika kereta itu langsir mengisi muatannya di salah satu metropolis timur laut, +5, kubuka menu pesan dalam telepon genggamku. Mendapati nama-nama yang mengajak untuk menikmati malam pergantian tahun bersama. Seperti biasanya – dan lalu lalang pikiran di simpang tendas, merujuk atau melantas. Kelebat bayang simpang siur di bordes.


Waktumu untuk bersama sahabatmu dan waktuku dengan sendiri dalam gempitaku. Sudah cukuplah basa basi, lanturan liar masa remaja yang menjanjikan setiap momen akan dilewati bersama. Aku bukan manusia suci dengan baju putih dan lingkaran tasbih. Mungkin nanti aku pun akan bertemu wajah-wajah asing bersahabat, siapa tau? Mereka yang saat ini hanyalah orang-orang asing akan menjadi temanku kemudian mengendap menggantikanmu, sahabat? Ah tapi tenang saja, namamu tak akan tandas, selalu ada dalam coretan romansa. Kusimpan dekat dengan tidur, mimpi dan anganku. Dan kita akan selalu berhubungan asal kamu tidak mengganti kartu kecil dalam telepon genggammu.


Kadang kita terlalu takut untuk mulai. Memulai sesuatu yang sebelumnya kita tidak tahu. Aku pikir kamu begitu. Kenapa? Karena dengan entengnya kamu berkata tidak pada sebuah rencana yang kita buat sebelumnya. Alasanmu kudengar, tidak bisa kuterima: tanpa pemakluman. Hanya karena dia dan mereka kamu berjalan memutar balik sementara aku sudah merangkak pelan. Kembalilah dan aku akan melawan arah. Setidaknya kulupakan dirimu untuk kejap bahkan mungkin lebih dari sejenak.


+4 arakan awan gelap mulai membaur dengan jingga senja yang memudar di kaki langit. Karnaval gegana dalam balutan senyap renjana. Basah bulir air bening menapaki bumi. Hamparan hijau sawah dan rumput ilalang di tepiannya menari tersapu angin lembabnya. Licin aspal hitam, luap sungai berkelok, bias lampu kota, beku bara hati. Selalu saja ada rasa yang tertinggal dalam gerimisnya. Sejenak kupejamkan mata, menciumi bau basah tanah dan rindu yang makin merekah.


Lanskap deretan Pegunungan Hyang tempat kita dulu berbagi rasa terpampang jelas di luar jendela kaca kotak besi usang. Sudah terlalu banyak fiksi indah dari tapak kaki-kaki kecil yang menjejakinya, citra yang menakjubkan tentang tiap sudut sabananya, lukisan mengagumkan pada puncaknya sedang aku teringat bagaimana mulai terlihat betapa jalan kita berbeda. Klise ketika semakin mengenal dunia dan mendapati ada beberapa bagian yang tidak mungkin disatukan. Waktu telah lelah untuk menjaga semua tetap selaras sejiwa seirama.


Ya, seperti Steadman dengan Wave Goodbye-nya:

I turn left. You turn right. Only one way road. On this stretch of life.


Senja telah merangkak naik mengulum mentari beberapa masa lalu, bintang hanya menjadi sebuah noktah putih renik dalam kanvas hitam pekat sementara aku telah duduk menikmati hembusan angin semilir pantai selatan membawa bau laut tengara semakin dekatku +7.


Masih beberapa jam lagi untuk menggapai tujuan – saujana, hampar pasir putih dengan batas debur ombak dan rapat hutan lebat – yang tadinya kuharap menjadi tujuanmu jua. Perhentian-perhentian sejenak sebelum akhir yang akan memberikan tempat untuk berbagi senyum dan tawa melepas penat dan lelah.


Aku selalu menikmati perjalanan buta atau senja bersamamu sahabatku. Meskipun kini kamu tengah melewatkan petang bersama beberapa yang kamu temui waktu lalu. Ada dua pilihan dalam hidup: Petualangan yang menantang atau sebuah kekosongan.


“Kenapa tidak datang ke acara tahun baru kita? Di sini ramai, banyak kembang api, warna warni segala penjuru dan tentu saja canda,” tanyamu tiga tahun lalu lewat sebuah pesan singkat di menjelang pergantian post meredian menjadi ante meredian. Masih kusimpan secarik pesan itu dalam memori.

“Kita sedang menatap cakrawala dengan bulan merah yang sama namun berada pada tebing berseberangan terpisah jurang yang dalam,” jawabku.


Apakah kamu bisa memandangku dengan cara yang berbeda setelah apa yang kuceritakan padamu?


Mungkin saat manusia menciptakan batasan dengan angka-angka dan kemudian merayakan perubahannya; kamu tengah menikmati kembang api yang sama, yang selalu kita nikmati dulu. Atau mungkin aku mendapatimu memegang tiket kereta apimu. Atau mungkin..? Sedangkan aku bersama tualang di semenanjung blambangan dalam pasir putih ombak bergulung, membuih menikmati bintang yang bertaburan di langit gelap.


Berjuta kemungkinan saat kita berbeda jalan kan?


“Kenapa kamu memutuskan menapaki jalan yang panjang melelahkan itu?” tanyamu.

“Karena aku bisa belajar, ketika lemah dan letih banyak bagian dari hati yang tidak bisa ditutupi oleh sebentuk topeng yang kita kenakan,” jawabku.

“Kenapa sendiri?” tanyamu lagi.

“Karena saat mengatakan iya, tidak perlu kamu dia atau mereka untuk mulai melangkah. Karena kita datang sendiri dan akan kembali sendiri juga meskipun beberapa hal dalam hidup tidak dapat dilakukan seorang diri.”



Original post : Kontemplasi V

No comments:

Post a Comment